Muda-Mudi Hakka Rayakan Festival Wedang Ronde
Festival wedang Ronde
Jogja75 – Masyarakat tionghoa memiliki festival unik yang beragam salah satunya festival musim dingin atau dong zhi jie atau dikenal juga sebagai festival ronde yang diadakan pada 22 Desember berdasarkan kalender Masehi atau bertepatan dengan hari ibu. Salah satu yang turut merayakan adalah ako Amoi Hakka.
Bersama para muda-mudi paguyuban Hakka Jogja merayakan festival ini dengan membuat ronde bersama-sama di rumah Hakka Jogja. Ronde ini dibuat dari tepung beras tanpa isi, melambangkan Arabnya ikatan persaudaraan dan air gula dan jahe manis melambangkan hubungan antar keluarga yang manis. Namun pada perkembangan ronde ini dibuat dari berbagai bahan. Tak hanya tepung beras bisa juga kentang tumbuk. Selain itu isiannya juga semakin beragam, bisa berupa kacang tanah atau bahkan coklat tokoh Tionghoa Jogja.
Jimmy sutanto mengatakan wedang ronde ini sebenarnya emang kuliner asal Tiongkok yang kemudian diterima dengan baik dalam Khazanah Kuliner Nusantara. Namun menurutnya ada perbedaan penyajian antara wedang ronde ala Tiongkok dengan Indonesia. Di Tiongkok , wedang ronde cukup disajikan dengan kuah jahe. Sedangkan di Indonesia kuasai yang hangat tersebut Masih ditambah dengan kolang kaling dan kacang tanah. ” itu menjadi bukti kuliner asal Tiongkok diterima dengan baik di sini”, katanya kepada Harian Jogja, Rabu (26/12).
Namun kini menyayangkan Festival semakin jarang dilakukan oleh generasi sekarang. Padahal festival ini sudah berumur cukup lama karena mulai dirayakan sejak masa dinasti Han (206-220 SM). Pada zaman dinasti song (1127/1152 M) festival ini dilaksanakan dengan sembahyang arwah leluhur dan lima unsur di Bumi yang terdiri dari logam, air, api, tanah dan kayu. Pada zaman dinasti Qing (1644-1911M) perayaan ronde menjadi salah satu perayaan penting di Cina dan daerah imigrasi, tak terkecuali Indonesia.
Jimmy menyebut salah satu penyebab makin jarangnya festival ini diadakan karena tidak ada musim dingin di Indonesia sehingga masyarakat tionghoa yang tinggal di Indonesia merasa terpisah dengan akar budayanya yang ada di Tiongkok. Mereka merasa kesulitan untuk menemukan atmosfer musim dingin karena di Indonesia hanya memiliki 2 musim yakni kemarau dan penghujan. Hal itu terus terjadi hingga era para generasi muda Tiongkok pada festival ini punya beragam makna dan mempunyai berbagai kepercayaan yang menarik. Diantaranya saat makan ronde seseorang yang menyesuaikan dengan usia kemudian menambahkan 1 sebagai lambang pengharapan agar usia bertambah lagi. Kepercayaan lainnya jika ada anggota keluarga yang hamil membakar ronde,, jika pecah maka bayinya berjenis kelamin perempuan namun kalau tetap utuh berjenis kelamin laki-laki.
” beda dengan Imlek yang menjadi ajang silaturahmi, perayaan ronde hanya dirayakan oleh keluarga. Mereka berkumpul, membuat ronde, menikmatinya, dan berdoa bersama. Roti yang berbentuk bulat melambangkan keutuhan, persatuan, harmoni keluarga, dan juga lambang keseimbangan alam atau Yin Yang,” ujar Jimmy.