Mengejar Fajar di Gunung Ireng Gunungkidul
Mitos Terbentuknya Gunung Ireng
Gunung Ireng adalah salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan matahari terbit di Gunungkidul. Konon, bukit ini tercipta akibat tendangan para pejuang Bratasena yang marah karena terganggu oleh kumpulan monyet di puncak Gunung Merapi.
Matahari masih belum muncul ketika kami berjalan di jalan basah di daerah Patuk, Gunungkidul. Jalan aspal basah dari hujan tadi malam membuat udara terasa sejuk, jadi kami terus menggigil sepanjang jalan. Suasananya sedikit tegang ketika jalan aspal yang kemudian kami ubah menjadi jalan berbatu yang licin, menyulitkan kami untuk mengendalikan kecepatan sepeda motor yang kami kendarai. Beberapa menit kemudian kami tiba di Gunung Ireng, tujuan kami untuk berburu matahari terbit di Gunungkidul.
Gunung Ireng terletak di daerah Pengkok, Patuk, Gunungkidul. Meskipun bernama “gunung”, tempat ini sebenarnya hanya sebuah bukit berbatu kecil dengan puncak botak. Puncak ini adalah titik tertinggi di Dusun Srumbung dan dikenal sebagai salah satu tempat terbaik untuk berburu pemandangan matahari terbit di Yogyakarta.
Disambut Deretan Bukit Kapur
Setelah memarkir sepeda motor dan berjalan beberapa puluh meter melewati hutan jati lebat, kami akhirnya mencapai puncak. Mata kami langsung disambut oleh deretan bukit batu kapur yang membentang ke cakrawala, dihiasi dengan bercak-bercak sawah hijau dan kabut tipis di sekitarnya. Matahari terlihat mengintip dari balik kabut, menambah kesan dramatis pada pemandangan di puncak bukit yang terus diterpa angin dingin. Suasana ini membuat kita merasa seperti berada di puncak gunung, meskipun lokasi ini hanya di atas bukit kecil yang tidak terlalu tinggi.
Sambil menikmati pemandangan fajar yang segar, kami memutuskan untuk duduk di sebuah gazebo di puncak bukit. Perlahan-lahan, matahari bergerak lebih tinggi dan mulai menerangi area di sekitar kita. Saya juga menyadari bahwa batu-batu vulkanik di puncak bukit memang gelap, dengan beberapa pohon tumbuh di atasnya. Mungkin warna hitam ini membuat lokasi ini disebut Gunung Ireng, yang dalam bahasa Jawa berarti “gunung hitam”.
Marahnya Raden Bratasena
Seperti tujuan wisata lainnya di Yogyakarta, orang-orang di sekitar Gunung Ireng memiliki mitos mereka sendiri tentang proses pembentukan bukit ini. Konon bukit ini dibentuk oleh Raden Bratasena alias Bima, salah satu pejuang Pandawa yang dikenal kuat dan mudah marah. Menurut legenda, Raden Bratasena marah melihat kumpulan monyet yang asyik bermain di Gunung Merapi. Raden Bratasena berniat menendang monyet-monyet nakal itu, tetapi tembakannya meleset dan menabrak batu-batu besar di puncak Gunung Merapi. Batuan ini juga terbang jauh ke daerah Gunungkidul, dan akhirnya menumpuk hingga menjadi Gunung Ireng seperti yang kita kenal sekarang.
Dalam sisi geologi sendiri, Gunung Ireng adalah bagian dari gunung api purba pada periode Miosen, sekitar 5-23 juta tahun yang lalu. Gunung api ini meletus dan kehilangan bentuknya, tetapi sisa-sisa gunung masih dapat dilihat sampai sekarang. Sisa-sisa gunung api ini membentuk beberapa formasi batuan vulkanik di daerah Patuk, termasuk bukit Nglanggeran di utara Gunung Ireng.
Apa pun ceritanya, Gunung Ireng tetap menjadi lokasi favorit para pelancong untuk menikmati fajar terindah di Yogyakarta. Beberapa pelancong sering mendirikan tenda di dekat area puncak sehingga mereka dapat menikmati pemandangan yang sejuk dan suasana di daerah ini lebih lama. Namun, kita perlu ingat untuk tidak merusak keindahan tujuan wisata ini dengan tidak membuang sampah sembarangan atau melakukan tindakan vandalisme, seperti yang dijelaskan dalam tanda peraturan sebelum kita naik ke atas.
Matahari semakin tinggi, tetapi pemandangan dari atas bukit semakin indah. Kami juga merasa berat harus meninggalkan pemandangan tersebut, tetapi waktu yang terus memaksa kami untuk segera turun dari puncak bukit. Sambil mengendarai sepeda motor, kami mengintip ke kaca spion yang memantulkan bayangan Gunung Ireng dari kejauhan, terlihat sangat mencolok di antara area hutan dan permukiman di sekitarnya.