Kenangan di Jalan Malioboro
Surga Cendera Mata di Jantung Kota Jogja
Berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti buket bunga, Malioboro menjadi bunga yang pesonanya mampu menarik wisatawan. Tidak hanya penuh cerita dan kenangan, Malioboro juga menjadi surga cendera mata di jantung kota Jogja. Matahari berdegup kencang saat ribuan orang berdesakan di sepanjang jalan Malioboro. Mereka tidak hanya berdiri di trotoar tetapi mereka berlari ke jalan. Suasananya begitu berisik dan riuh. Gelak tawa, teriakan klakson mobil, alunan kaset gamelan, hingga teriakan para pedagang yang menjual makanan dan mainan untuk anak-anak dicampur menjadi satu.
Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya rombongan karnaval yang diharapkan muncul. Dimulai oleh Bregada Prajurit Lombok Abang, konvoi kereta kerajaan mulai berjalan perlahan. Semua meremas ingin melihat pasangan GKR Bendara dan KPH Yudhanegara yang terus melambai dan menebar senyum ramah. Adegan itu dilihat sebagai pesta Kirab Pawiwahan Ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X dari Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Ribuan orang berdesakan mengisi Jalan Malioboro yang membentang dari utara ke selatan. Dalam bahasa Sansekerta, Malioboro berarti karangan bunga karena pada zaman kuno ketika Istana mengadakan acara, jalan sepanjang satu mil akan diisi dengan karangan bunga.
Jalan Dengan Pohon Asam di Kanan dan Kiri
Meski waktu berlalu dan jaman telah berubah, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat berbagai karnaval dan perayaan diadakan tidak pernah berubah. Hingga kini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Zero Point tetap menjadi tempat berbagai karnaval mulai dari ajang Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Cina, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lagi lainnya.
Sebelum berubah menjadi jalan yang sibuk, Malioboro adalah jalan yang tenang dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kiri. Jalan ini baru saja dilalui oleh orang-orang yang ingin pergi ke Istana atau daerah-daerah kompleks seperti Indische Pertama pertama di Yogyakarta, misalnya, Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (daerah di samping Aula Besar / Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung / Gedung Agung), serta Loji Setan.
Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan dan keberadaan pemukiman etnis Cina di daerah Ketandan secara bertahap meningkatkan perekonomian di wilayah tersebut. Kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang semula berkantor di Beringharjo dan Pecinan akhirnya berkembang ke utara menuju Stasiun Tugu (Stasiun Kereta Tugu). Melihat Malioboro berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan belanja, seorang teman mengatakan bahwa Malioboro adalah bayi yang berbicara untuk “mari yok borong (mari beli banyak)”.
Surga Berburu Souvenir
Di malioboro Anda dapat membeli berbagai barang dagangan yang diinginkan mulai dari aksesoris cantik, suvenir unik, batik klasik, emas dan permata hingga peralatan rumah tangga. Untuk penggemar suvenir, Malioboro bisa menjadi surga berburu yang menyenangkan. Berjalan di bahu jalan sambil menawar berbagai barang yang dijual oleh pedagang kaki lima, akan menjadi pengalaman istimewa. Aneka cendera mata buatan lokal seperti batik, rotan hias, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, aksesoris, hingga gantungan kunci, semua dapat ditemukan dengan mudah. Jika Anda pandai menawar, barang-barang ini bisa dibawa pulang dengan harga yang cukup murah.
Selain sebagai pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari poros imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi pernah menjadi sarang sekaligus panggung pentas oleh seniman Malioboro yang dipimpin oleh Umbu Landu Paranggi. Dari mereka juga, budaya duduk di trotoar dipopulerkan yang akhirnya berakar dan identik dengan Malioboro.
Jalan Malioboro
Menikmati makan malam romantis di warung sambil mendengarkan artis jalanan lain yang menyanyikan lagu “Yogyakarta” dari Kla Project akan menjadi pengalaman yang ditandai dalam hati. Malioboro adalah rangkaian sejarah, cerita dan ingatan yang terjalin dalam pikiran setiap orang yang pernah dikunjungi. Pesona jalan ini tidak pernah pudar oleh waktu. Eksotisme Malioboro terus bersinar sampai sekarang dan menginspirasi banyak orang, dan memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta. Sebagai kalimat awal dalam puisi Melodia yang dibuat oleh Umbu Landu Paranggi “Cinta yang membuat saya merasa di rumah kadang-kadang berlangsung”, kenangan dan cinta banyak orang terhadap Malioboro yang membuat jalan ini terus bertahan sampai sekarang.