Perusahaan otobus bidik wisata di Jogja
Menteri perhubungan siapkan angkutan di bandara New Yogyakarta International Airport
Jogja – menteri perhubungan budi karya sumadi berencana membuat kereta api – kereta api jarak jauh berhenti di stasiun kereta bandara New Yogyakarta International Airport setelah (NYIA) sebagai salah satu akses pendukung menuju bandara. Tidak hanya itu, nantinya juga akan disiapkan shutel bus untuk mengangkut penumpang dari stasiun Wojo ke bandara NYIA . Pelaku usaha perusahaan otobus ( PO) peluang yang terbuka lebar adalah penyediaan jasa kendaraan wisata.
” sepengetahuan kami, bandara di Kulon Progo untuk wisatawan. Kalau wisata kami sudah siap. hampir 90% po sudah melakukan peremajaan kendaraan untuk wisata,” papar ketua DPD organisasi angkutan darat (organda) DIY V hantoro Selasa, (22/1).
Untuk kendaraan umum yang mengangkut penumpang ke bandara, ia melihat peluang nya kecil Karena sekarang ini kendaraan umum tergeser oleh kendaraan pribadi. Isian penumpang bus antar kota dalam provinsi AKDP hanya 7%. ” kalau nantinya yang dikembangkan tidak hanya wisata, tetapi juga industri, mungkin ada peluang .Selain itu, harus ada jalur khusus bandara,” kata dia.
Iya menghitung untuk kendaraan dengan sirkulasi cepat, yang cocok untuk angkutan ke bandara Adakah kendaraan dengan kapasitas 12 hingga 14 orang . Namun, dengan kondisi lalu lintas saat ini yang pada jarak tempuh masih lebih dari 1 jam 20 menit sehingga biaya akar mahal. Kecuali, jika Pemerintah menyediakan jalur khusus ke bandara.
Pemilik PO langen Mulyo Agus Andrianto untuk saat ini belum bisa menangkal kebutuhan transportasi apa saja yang diperlukan. Kajian itu bisa dilakukan setelah bandara benar-benar selesai dibangun. ” kami akan lihat dulu setelah bandara ini jadi, kira-kira apa yang bisa kami ambil bagian?”. Tutur dia.
Menua di Jalan Jogja
Jogja- Pembangunan tol yang masih di berbagai titik di Pulau Jawa menuai pujian. Pemudik di akhir tahun dapat mencapai perbatasan DIY lebih cepat 23 jam dari perjalanan yang biasa ditempuh. Sayang saat masuk kota budaya ini, situasi berubah. Laju kendaraan yang semula kencang terpaksa berjalan merayap. Jogja pun kini dibandingkan dengan Jakarta yang selama ini menjadi jawara kemacetan dan menjadi calon penerima istilah menua di jalanan. Benarkah Jogja pantas menyimpan status ini? Berikut laporan wartawan Harian Jogja, mediani Dyah Natalia.
Sepasang turis asing mematung di sisi Timur Malioboro. Tak ada gerak-gerik berarti yang diperlihatkan keduanya. Satu-satunya organ tubuh yang bergerak hanyalah mata yang melirik ke sisi Utara dan Selatan. Upaya ini dilakukan keduanya berulang tanpa putus.
Entah sudah berapa lama Mereka berdiri, terik sang surya mengubah kulit pucat mereka menjadi merah muda. Rambut sedikit demi sedikit menua perubahan ini seru dengan peluk yang keluar dari pori-pori mereka yang membesar.
Saat menyadari matahari Kian perkasa dan beranjak ke sisi barat laut turis laki-laki itu menggenggam erat pergelangan tangan perempuan yang di sebelah kirinya, syarat mata nanar yang semula diperlihatkan ternyata tidak sepenuhnya terbukti. Kedua indra penglihatan yang bergerak ke kanan kiri ternyata juga dimaksimalkan membaca situasi .dia melirik cara warga lokal menyebrang Malioboroo. Mengangkat tangan kanan dan berjalan mendekati bibir trotoar lalu melintas selesai.
Dia berusaha mempraktikkan cara itu tangan kanan diangkatnya tinggi-tinggi sambil melihat celah di antara mobil dan motor yang lalu lalang. Kakinya maju selangkah, tetapi Sedetik kemudian mundur lagi .
Wajah keheranan yang semula diperlihatkan kembali terulang. Akhirnya dia menyerah tangan kanan yang semula diangkat dihempaskan ke bawah. Sembari menggenggam tangan pasangannya, mereka berbalik arah dan kembali memasuki halaman sebuah hotel bintang empat yang berdiri sejak 1908 itu.
Bagi turis turis asing kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang di Jogja saat ini kereta api yang memiliki buntut yang tak terputus. Tak dapat ditebak kapan ada celah yang memungkinkan pejalan kaki atau pesepeda untuk melintas . Pengalaman serupa yang dialami ade, warga Jakarta yang sempat mengenyam pendidikan di Jogja. Menurutnya, saat ini sulit mengemudikan mobil atau motor atau sekedar berjalan jalan santai di Jogja. Padahal dulu dia wara-wiri mengendarai motor ke berbagai sudut kota budaya ini.
Belum lagi jika dia bepergian dari dan luar kota Jogja jika semasa sekolah dia hanya menghabiskan waktu 40 menit dari Ringroad Selatan menuju rumahnya di area Ringroad Utara, kini dia harus menggandakannya.
Bahkan waktu tempuh dari Ringroad Selatan menuju Keraton saat musim liburan pun hampir 1 jam.
” jogja hampir seperti Jakarta. Bisa-bisa menua di jalanan,” kata perempuan 33 tahun yang kini 100% menjadi ibu rumah tangga ini. Padahal jarak tempuh antara kantor rumah lebih dari 2 jam adalah alasan utamanya mengundurkan diri.